Mutasi DNA Mitokondria Penyebab DM

Sudah mafhum diketahui bahwa penyakit diabetes mellitus (DM) atau penyakit kencing manis adalah penyakit yang diturunkan atau penyakit genetik. Dengan kata lain, orangtua yang menderita DM akan menurunkan secara genetis anak yang berpotensi menderita DM.

Dunia biomolekuler kedokteran mengklasifikasikan penyakit DM ini dalam beberapa bentuk sesuai penyebabnya. Penyebab itu antara lain defect resistensi insulin yang terjadi pada individu pembawa bakat genetik penyebab DM dan sekresi insulin yang terjadi pada sindrom DM akibat faktor yang didapat atupun akibat dari bakat genetik yang diturunkan.

Demikian disampaikan dr Agung Pranoto dan dr Askandar Tjokroprawiro dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan staf medis pada Rumah Sakit Umum dr Soetomo Surabaya, Jawa Timur.

Mereka memaparkan tentang hal itu pada seminar tentang mitokondria belum lama ini di Jakarta yang diselenggarakan oleh Lembaga Eijkman.

Secara klinis, penyakit DM awalnya didominasi oleh resistensi insulin yang disertai defect fungsi sekresi. Tetapi, pada tahap yang lebih lanjut, hal itu didominasi defect fungsi sekresi yang disertai dengan resistensi insulin.

Kaitannya dengan mutasi DNA mitokondria yakni karena proses produksi hormon insulin sangat erat kaitannya dengan mekanisme proses oxidative phosphorylation (OXPHOS) di dalam sel beta pankreas.

Penderita DM proses pengeluaran insulin dalam tubuhnya mengalami gangguan sebagai akibat dari peningkatan kadar glukosa darah. Mitokondria menghasilkan adenosin trifosfat (ATP). Pada penderita DM, ATP yang dihasilkan dari proses OXPHOS ini mengalami peningkatan.

Peningkatan kadar ATP tersebut otomatis menyebabkan peningkatan beberapa senyawa kimia yang terkandung dalam ATP. Peningkatan tersebut antara lain yang memicu tercetusnya proses pengeluaran hormon insulin.

Berbagai mutasi yang menyebabkan DM telah dapat diidentifikasi. Kalangan klinis menyebutnya sebagai mutasi A3243G yang merupakan mutasi kausal pada DM. Mutasi ini terletak pada gen penyandi ribo nucleid acid (RNA).

Pada perkembangannya, terkadang para penderita DM menderita penyakit lainnya sebagai akibat menderita DM. Penyakit yang menyertai itu antara lain tuli sensoris, epilepsi, dan stroke like episode.

Hal itu telah diidentifikasi sebagai akibat dari mutasi DNA pada mitokondria. Hal ini terjadi karena makin tinggi proporsi sel mutan pada sel beta pankreas maka fungsi OXPHOS akan makin rendah dan defect fungsi sekresi makin berat.

Prevalensi mutasi tersebut biasanya akan meningkat jumlahnya bila penderita DM itu menderita penyakit penyerta tadi.

Meskipun sudah teridentifikasi bahwa mutasi itu terjadi di gen penyandi A3243G, ternyata untuk di Indonesia, tidak berperan pada mekanisme timbulnya penyakit penyerta DM.

Penelitian ini kabarnya telah mencapai jumlah sampel 1.500 penderita DM yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Tidak ditemukannya mutasi A3243G menunjukkan peran mutasi itu mungkin kurang penting pada terjadinya penyakit DM di Indonesia.

Namun, ada fakta lain yang cukup menarik yakni yang dilaporkan peneliti Thailand. Menurut peneliti ini, satu kasus DM yang terkait mutasi A3243G dari 100 sampel yang diteliti, kemungkinan frekuensinya akan menurun jika jumlah sampel penelitian masih banyak.

Hal itu merupakan tanda tanya bagi para peneliti. Mereka pun menghubungkan dengan kemungkinan bahwa iklim tropis dan faktor nutrisi di wilayah Asia Tenggara merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya angka frekuensi mutasi A3243G dimaksud. (N-5)
Sumber:Suara pembaharuan

Camar Besar, Si Putih yang Hobi Terbang




JAKARTA- Camar besar alias great albatross tergolong burung laut. Mereka masuk genus Diomedea dalam kerabat camar. Sesuai dengan namanya, camar satu ini memiliki ukuran tubuh lebih besar daripada camar biasa. Lebar tubuhnya dengan sayap direntangkan mampu mencapai 3,5 meter dengan panjang tubuh dari patuh ke ekor mencapai 3 meter.
Camar besar ini terdiri dari dua spesies yang cukup majemuk, yakni camar Amsterdam dan camar royal. Keduanya dibedakan melalui asal muasalnya. Kedua spesies ini memang yang paling besar dibandingkan semua jenis camar, bahkan di antara burung terbang. Seekor burung camar besar bisa mencapai bobot tubuh hingga 11 kilogram, sama besarnya dengan seekor angsa besar. Camar besar dewasa memiliki paruh berwarna putih. Makin dewasa, makin putih warna paruhnya. Sedangkan ketika masih belia paruhnya berwarna kekuningan.
Kedua spesies ini memang yang paling besar dibandingkan semua jenis camar, bahkan di antara burung terbang. Bahkan pada camar besar Amsterdam seluruh tubuhnya berwarna putih. Pada betina dewasa dan anak-anak masih dihiasi warna gelap pada bulunya. Tapi kian dewasa, warna itu hilang dan berganti memutih sepenuhnya.
Camar besar tersebar di sepanjang lautan wilayah selatan. Sarangnya sendiri tersimpan rapi di pulau-pulau terisolasi. CamarAmsterdam bisa dijumpa di lautan Atlantis, lautan Hindia dan Selandia Bary serta pulau-pulau sub Antartika. Sedangkan sarang camar royal hanya ada di Selandia Baru.
Dari temuan fosil-fosil genus Diomedea, diketahui bahwa genus Phiebastria dan Diomedea sudah mengalami pemisahan sejak 12-15 juta tahun yang lalu. Fosil tersebut berasal dari era miosen pertengahan.(mer)

Sumber.Sinar Harapan

Gametogenesis pada tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi

Di sini hanya akan diterangkan proses gametogenesis pada tumbuh-tumbuhan bunga (Angiospermae) saja.

a. Mikrosporogenesis ialah gametogenesis yang berlangsung di dalam bagian jantan dari suatu bunga, yang disebut kepala sari atau antera dan menghasilkan serbuk sari.

Sebuah sel induk mikrospora diploid (mikrosporosit) dalam antera mula-mula mengalami meiosis I dan menghasilkan sepasang sel haploid. Meiosis II menghasilkan 4 mikrospora haploid yang berkelompok menjadi satu. Tiap mikrospora mengalami karyokinese (intinya membelah biasa), sehingga memiliki 2 inti haploid. Sebuah inti dinamakan inti saluran serbuk sari dan yang lain disebut inti generatip. Setelah terbentuk serbuk sari, inti generatip membelah secara mitosis tanpa disertai sitokinesis dan terjadilah 2 inti sperma. Inti saluran serbuk sari tidak membelah. Dengan demikian maka sebutir serbuk sari yang telah masak mengandung tiga inti masing-masing haploid, yaitu sebuah inti saluran serbuk sari dan 2 buah inti sperma.

b. Megasporogenesis ialah gametogenesis yang berlangsung didalam bagian betina dari suatu bunga, yang disebut bakal buah atau ovarium dan menghasilkan kandung lembaga. Sebuah sel induk megaspora doiploid (megasporosit) dalam ovarium mengalami meiosis I, menghasilkan dua sel haploid. Meiosis II menghasilkan 4 megaspora haploid yang letaknya berderet. Tiga megaspore mengalami degenerasi dan mati. Sebuah mgaspora yang tertinggal dan yang masih hidup mengalami pmbelahan kromosom secara mitosis tiga kali berturut-turut tanpa diikuti pembelahan plasma. Hasilnya berupa sebuah sel besar (kandung lembaga muda) yang mengandung 8 inti haploid. Kandung lembaga ini dikelilingi oleh kulit (integumen), tetapi di ujungnya terdapat sebuah liang (mikropil) sebagai tempat jalan masuknya saluran serbuk sari ke dalam kandung lembaga. Tiga dari 8 inti tai menempatkan diri di dekat mikropil, tetapi dua diantaranya (sinergid) mengalami degenerasi. Inti yang ketiga berkembang menjadi sel telur. Tiga buah inti lainnya (antipoda) bergerak ke arah yang berlawanan, tetapi kemudian mengalami degenerasi pula. Sisanya dua inti (inti kutub) kemudian bersatu di tengah kandung lembaga an terjadilah inti diploid. Kini kandung lembaga yang sudah masak (megagametofit) telah siap untuk dibuahi.

FERTILASI

Serbuk sari biasanya jatuh di atas kepala putik (stigma) dengan perantaraan angina, serangga atau manusia. Peristiwa ini disebut penyerbukan. Beberapa saat kemudian serbuk sari tumbuh dan membentuk saluran serbuk yang memanjang dan masuk ke dalam tangkai putik (stylus). Di dalam saluran serbuk itu terdapat 3 inti haploid, yaitu inti saluran serbuk terdapat di depan sedang kedua inti sperma mengikuti di belakangnya. Saluran serbuk memasuki ovarium lewat mikropil. Kedua inti sperma masuk ke kandung lembaga. Salah satu inti sperma brsatu dengan inti sel telur dan membentuk zigot diploid, yang kemudian akan berkembang menjadi embryo. Inti sperma lainnya bersatu dengan inti diploid yang merupakan hasil persatuan dari dua inti kutub. Ini menghasilkan inti triploid (3n) yang setelah mengalami pembelahan berkali-kali akan membentuk jaringan putih lembaga (endosperm). Jadi ndosperm itu bersifat triploid.

Oleh karena itu disini terjadi dua kali pmbuahan, yaitu antara inti sperma dngan inti hasil persatuan dua inti kutub, maka pembuahan pada tumbuh-tumbuhan berbunga (Angiospermae) dinamakan pembuahan ganda.

Sumber.Genetika Ir.Suryo

Alat Pernafasan

a. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)

Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk.

b. Faring (Tenggorokan)

Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada bagian belakang.

Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara.

Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan.

c. Tenggorokan (Trakea)

Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan.

d. Cabang-cabang Tenggorokan (Bronki)

Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus.

e. Paru-paru (Pulmo)

Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis).

Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain.

Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-paru berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk pertukaran gas.

Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm, dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus.

Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus).

Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus berselaput tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas pernapasan.

PENGELUARAN

Ekskresi berarti pengeluaran zat buangan atau zat sisa hasil metabolisme yang berlangsung dalam tubuh organisme. Zat sisa metabolisme dikeluarkan dari tubuh oleh alat ekskresi. Alat ekskresi pada manusia dan vertebrata lainnya berupa ginjal, paru-paru, kulit, dan hati, sedangkan alat pengeluaran pada hewan invertebrata berupa nefridium, sel api, atau buluh Malphigi.

Sistem ekskresi membantu memelihara homeostasis dengan tiga cara, yaitu melakukan osmoregulasi, mengeluarkan sisa metabolisme, dan mengatur konsentrasi sebagian besar penyusun cairan tubuh.

Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat makanan yang bermolekul kompleks. Zat sisa ini sudah tidak berguna lagi bagi tubuh. Sisa metabolisme antara lain, CO2, H20, NHS, zat warna empedu, dan asam urat.

Karbon dioksida dan air merupakan sisa oksidasi atau sisa pembakaran zat makanan yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein. Kedua senyawa tersebut tidak berbahaya bila kadarnya tidak berlebihan. Walaupun CO2 berupa zat sisa namun sebagian masih dapat dipakai sebagai dapar (penjaga kestabilan PH) dalam darah. Demikian juga H2O dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, misalnya sebagai pelarut.

Amonia (NH3), hasil pembongkaran/pemecahan protein, merupakan zat yang beracun bagi sel. Oleh karena itu, zat ini harus dikeluarkan dari tubuh. Namun demikian, jika untuk sementara disimpan dalam tubuh zat tersebut akan dirombak menjadi zat yang kurang beracun, yaitu dalam bentuk urea.

Zat warna empedu adalah sisa hasil perombakan sel darah merah yang dilaksanakan oleh hati dan disimpan pada kantong empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi urobilinogen yang berguna memberi warna pada tinja dan urin.

Asam urat merupakan sisa metabolisme yang mengandung nitrogen (sama dengan amonia) dan mempunyai daya racun lebih rendah dibandingkan amonia, karena daya larutnya di dalam air rendah.

Tugas pokok alat ekskresi ialah membuang sisa metabolisme tersebut di atas walaupun alat pengeluarannya berbeda-beda.

Meluruskan Silang Pendapat tentang Teori Evolusi Biologis

LIMA puluh tahun lalu, tepatnya 25 April 1953, persoalan struktur tiga dimensi asam nukleat atau DNA, sebagai materi pembawa informasi genetis terpecahkan melalui kerja keras JD Watson, FHC Crick, MHF Wilkins, dan si cantik, Rosalind E Franklin. Sebulan kemudian, 30 Mei 1953, implikasi biologis terhadap penemuan tersebut diuraikan. Sambil mengingat kembali kejadian 50 tahun lalu, kita diramaikan oleh perdebatan sengit antara Wildan Yatim, dosen senior Biologi Sel dari Universitas Padjadjaran, dan Taufikurahman, staf pengajar pada Departemen Biologi FMIPA ITB. Yang diperdebatkan itu tidak tanggung-tanggung: Teori Evolusi!

PERDEBATAN yang disuguhkan Kompas (23 April 2003 dan 8 Mei 2003) itu diawali dengan paparan Wildan Yatim dalam artikelnya yang berjudul "Ada Bantahan terhadap Teori Evolusi?" Dalam tulisan tersebut, Wildan menolak keras press release Taufikurahman yang mengusulkan agar pelajaran Biologi direvisi.

Sambil menolak keras usulan tersebut, Wildan menghadapmukakan pandangan seorang penulis asal Turki, Harun Yahya, yang menurut Wildan menjadi acuan Taufikurahman menolak Teori Evolusi Darwin, dengan keempat tesis utama Charles Robert Darwin tentang evolusi biologis. Penolakan Wildan tersebut disokong dengan pendapat para ahli biologi pendukung Teori Seleksi Alamiah Darwin, seperti Alfred R Wallace, Ernst Haeckel, serta data yang bertebaran dalam bidang-bidang penyelidikan ilmu-ilmu hayati.

Penolakan Wildan terhadap ide untuk merevisi pelajaran Biologi berdasarkan pemahaman yang menurut dia telah out of date dan tidak ilmiah itu memecut rasa kejantanan sang dosen ITB tersebut, "Sudah lama saya meragukan keabsahan teori Darwin", dan "bukan semata-mata karena saya membaca buku-buku karangan seorang penulis Turki bernama Harun Yahya seperti yang dituduhkan Wildan Yatim," demikian Taufikurahman. Dasar penolakan yang digunakan Taufikurahman menolak Teori Evolusi Darwin lebih merupakan alasan keyakinan agama bahwa Tuhan adalah pencipta semua makhluk hidup di dunia.

Untuk mempertahankan pendapatnya, Taufikurahman juga menyitir silang pendapat dari berbagai kalangan, termasuk debat Bishop Oxford Samuel Wilberforce dengan Thomas Huxley pada pertemuan tahunan The British Association for the Advancement of Science di musim panas 1860. Sayang sekali, dalam debat yang dimoderatori oleh guru yang paling dikagumi C Darwin ialah Prof John Stevens Henslow, lidah sang Bishop "terpeleset" dengan pertanyaan, "kakek atau neneknya (T Huxley)-kah yang berasal-usul kera?".

Taufikurahman juga mendebat Teori Evolusi Darwin dengan Teori Punctuated Equilibrium Stephen Jay Gould dan Niles Eldredge yang mereka sendiri sebenarnya tidak menolak Teori Seleksi Alamiah. Taufikurahman salah menafsirkan punctuated equilibrium dan menjadikannya "tidak bunyi".

Stephen Jay Gould dalam artikelnya di Scientific American, Oktober 1994, berjudul "The Evolution of Life on the Earth" mengatakan, "Natural Selection is on immensely powerful yet beautifully simple theory that has held up remarkably well, under intense and unrelenting scrutiny and testing for 135 years".

Lebih lanjut, titik-titik lemah argumentasi C Darwin terhadap Teori Seleksi Alamiah juga dipakai Taufikurahman sebagai landasan menolak teori tersebut. Padahal, self-critic menjadi demikian luar biasa bagi C Darwin merumuskan teorinya yang lain, yaitu seleksi seksual. Dengan bertambah banyaknya data-data molekuler dan paleontologi, keraguan-keraguan terhadap teori Darwinian semakin samar-samar hilang.

Saya menduga Taufikurahman dalam menanggapi Wildan Yatim dipengaruhi (atau barangkali berasal dari) pandangan-pandangan yang terdapat dalam buku karangan Vernon Blackmore dan Andrew Page berjudul Evolution the Great Debate. Jika ini benar, maka sekali lagi, sayang sekali, karena mengenai buku tersebut, sang penulis mengatakan, "This book is not about the rights and wrongs of evolution or creation science… For there is a much more fascinating story to be told: the history of the idea of evolution itself and in its wake the troubled waters of religious argument" (Halaman Pendahuluan).

Menurut saya, pandangan Harun Yahya dan Taufikurahman tentang evolusi biologis tidak bergerak sedikit pun dari pandangan tentang asal-usul kehidupan di Bumi yang dianut C Linnaeus 250 tahun silam yang telah usang itu. Pandangan mereka, seperti yang disitir Wildan, seiras dictum C Linnaeus. "Species tot sunt, quot diversas formas ab initio produxit Infinitum Ens (Spesies yang ada sebanyak yang dihasilkan pada permulaan oleh The Infinite).

Sebenarnya, C Linnaeus pernah "terantuk" dengan data yang seharusnya dapat membuatnya keluar dari pemahaman bahwa spesies bersifat tetap (fixed), yaitu ketika ia berhadapan dengan sampel tumbuhan yang dikirim oleh seorang mahasiswa.

Morfologi tumbuhan tersebut persis sama dengan Linaria vulgaris, kecuali bunganya yang setangkup melingkar (radially symmetrical), disebut peloric. Padahal, Linaria tipe asli (wild type) memiliki bunga yang setangkup bilateral (bilateral symmetry). Kalau mengikuti sistem tata nama yang dikembangkan C Linnaeus, seharusnya tumbuhan tersebut digolongkan sebagai spesies baru. C Linnaeus mencatat kebingungan ini sebagai suatu monstrous flower.

Pembuktian molekuler oleh kelompok Enrico Coen dari John Innes Centre di Norwich, Inggris, dan Theissen G dari Max-Planck Institut di Kohl, Jerman, menegaskan bahwa sebenarnya baik si tumbuhan aneh itu maupun si Linaria vulgaris merupakan tumbuhan yang sama, tetapi si peloric memiliki satu gen yang ekspresinya terbungkam (silenced) karena reaksi metilasi dipermukaan gen LCYC (Nature 401:157-161 dan Bioessays 22:209-13).

Masalah mendasar yang harus ditolak dari cara berpikir Taufikurahman ialah bahwa dasar penolakannya terhadap Teori Evolusi Darwin berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta semua makhluk hidup di dunia. Bukan berarti bahwa saya tidak setuju dengan keyakinan agamawi tersebut, tetapi cara berpikirnya yang menurut saya meloncat ke ranah (domain) nonilmiah (ke keyakinan), membuat keyakinannya itu berada di luar jangkauan teori ilmiah, dan oleh sebab itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula.

Hal inilah yang menimbulkan ketidaksetangkupan argumentasi antara Taufikurahman dan Wildan Yatim. Wildan mencoba mengatakan teori Darwin tentang proses evolusi sebagai teori ilmiah. Ia menunjuk kepada metode induktif Darwin yang berangkat dari fakta-fakta dan observasi-observasi yang dibuatnya sendiri, dan merampatkannya ke dalam argumen-argumen Teori Seleksi Alamiah yang termuat di dalam The Origin: "As many more individuals are produced than can possibly survive, there must in every case be a struggle for existence…"

Apakah Taufikurahman harus diyakinkan lebih faktual lagi oleh paleontologis lokal di Sangiran dekat Solo atau oleh para paleontologis sekaliber Prof Teuku Jakob bahwa tidak mungkin memperoleh fosil Homo Erectus pada formasi Kalibeng, yaitu formasi paling bawah dari kubah (dome) Sangiran? Homo Erectus, dengan jumlah yang ditemukan telah mencapai hampir 80, semuanya hanya ditemukan pada formasi yang lebih di atasnya, yaitu formasi Pucangan, suatu formasi yang terbentuk 700.000- 1.800.000 tahun silam di kala Pleistosen, dan formasi kubah yang berumur lebih muda, yaitu 125.000-700.000 tahun silam.

Jadi pertanyaan bernada menantang "Ada Bantahan terhadap Teori Evolusi Darwin?" bukanlah pertanyaan teologisfilosofis, tetapi suatu pertanyaan ilmiah yang harus dijawab secara ilmiah pula. Kesalahan kebanyakan orang, termasuk Bishop Oxford Samuel Wilberforce dan Taufikurahman, adalah menafsirkan Teori Seleksi Alamiah di luar ranah ilmiah, yang kebenarannya tentu berada di luar jangkauan kebenaran yang dibatasi oleh cara ia diperoleh!

Sebaliknya, terdapat ganjalan yang harus diluruskan dari jalan berpikir Wildan Yatim. Pada awal perbincangannya, Wildan merujuk kepada persoalan mekanisme evolusi. Namun, kemudian ia menghantam Yahya dan Taufikurahman dengan suguhan evolusi sebagai fakta-fakta. Bukankah fakta-fakta yang sama itu telah ada semasa C Linnaeus? Tetapi mengapa C Linnaeus masih menganut faham penciptaan?

Lebih lanjut, Wildan Yatim tidak secara jernih menggagas Teori Evolusi Molekuler sebagai bagian dari proses penjernihan Teori Evolusi Darwin. Ia bahkan terlalu menyederhanakan keragaman genetika sebagai akibat dari transposon-transposon.

Mutasi imbasan (induced mutation) juga berlangsung dalam proses ekspansi nukleotida-nukleotida berulang (repeated DNA). Hasil-hasil penelitian terakhir bahkan membeberkan jembatan-jembatan interaktif antara lingkungan dan bahan genetika melalui epigenetika, yang menurut saya merupakan wilayah yang harus menjadi ajang utama (selain mutasi DNA dan mutasi kromosomal secara langsung) dalam pembentukan variabilitas hayati.

Kelemahan lain Wildan Yatim terletak pada kebersikukuhan argumentasinya kepada tesis-tesis yang terlalu berkutat pada Darwinisme klasik: muncul dan hilangnya suatu keragaman hayati pada aras gen-gen, gamet, organisme individual, atau pada aras yang lebih tinggi, sebagai akibat dari perjuangan hidup.

Kalau kita ingin melihat Teori Evolusi Darwin sebagaimana yang dipahami saat sekarang, kita seharusnya tidak melupakan kerja keras zoologis Ernst Mayr dan Julian Huxley, paleontologis George Gaylord Simpson, ahli tumbuhan George Ledyard Stebbins, ahli genetika Sewall Wright, ahli matematika RA Fisher, dan JBS Haldane, serta ahli genetika Theodosius Dobzhansky, yang berhasil menyimpulkan Teori Seleksi Alamiah C Darwin dengan Teori Penurunan Sifat G Mendel ke dalam Teori Sintetik tentang evolusi pada tahun 1920-an hingga 1930-an.

Teori Sintetik melihat bahwa evolusi merupakan akibat pembentukan variasi-variasi baru dan penggantian variasi lama dengan variasi yang baru.

Kedua tahapan ini digerakkan oleh paling tidak enam hal berikut. Pertama, proses-proses yang menghasilkan variasi atau proses-proses mutasional.

Kedua, proses-proses yang mempersempit ruang gerak dari jenis variasi yang dihasilkan.

Ketiga, proses-proses yang mengubah frekuensi dari setiap variasi-variasi sebagai suatu fenomena populasi.

Keempat, proses-proses adaptif, yaitu proses-proses yang meningkatkan kemampuan varian-varian beradaptasi dengan lingkungan.

Kelima, proses-proses yang menentukan kecepatan evolusi tanpa perlu harus membuat pembedaan di dalam suatu populasi.

Keenam, proses-proses yang menentukan arah perubahan tanpa harus membuat pembedaan di dalam populasi.

Tantangan yang cukup keras terhadap Teori Seleksi Alamiah datang dari hasil penelitian Motto Kimura, Tomoko Ohta, JL King, dan TH Jukes yang memunculkan Teori Netral tentang Evolusi (Neutral Theory of Evolution).

C Darwin mengatakan, "Natural Selection is daily and hourly scrutinizing, throughout the world, the slightest variations; rejecting those that are bad, preserving and adding-up all that are good; silently and insensibly working, whenever and wherever opportunity offers, at the improvement of each organic being in relation to its organic and inorganic conditions of life" (C Darwin, The Origin Of Species, hal 99).

Kalau proses evolusi berlangsung seperti yang dirumuskan C Darwin tersebut, seharusnya terdapat hubungan yang sangat berarti antara variasi molekuler di tingkat DNA dan perubahan fenotipik. Namun, ternyata terdapat selang (gap) antara penampilan morfologi dengan mutasi-mutasi di tingkat urutan asam nukleat.

Mereka menemukan pada tingkat molekuler bahwa eliminasi selektif dari mutan-mutan yang dengan pasti bersifat negatif terhadap pembawanya dan fiksasi acak mutan-mutan yang bersifat netral secara selektif atau yang bersifat sedikit merugikan dari pembawanya terjadi jauh lebih sering di dalam evolusi ketimbang seleksi positif Darwinian dari mutan-mutan yang telah diketahui menguntungkan (Kimura dan Ohta, 1974: Proc. Nat. Acad. Sci. USA: 2848-2852). Kimura dan Ohta juga menemukan bahwa kecepatan evolusi asam amino fungsional pada suatu protein memiliki kecepatan yang konstan dan bersifat khas untuk tiap organisme.

Teori Netral tentang Evolusi tidak mengklaim bahwa seleksi alamiah tidak berlangsung, namun teori ini menunjukkan bahwa seleksi alamiah bukanlah satu-satunya gaya yang bekerja di dalam mekanisme evolusi. Ada gaya-gaya penting lain yang bekerja bersama-sama mengarahkan proses evolusi biologis.

Dengan demikian, walaupun seleksi alamiah berlangsung sebagai pemain yang tak terelakkan di panggung sejarah evolusi hayati, alam masih membiarkan adanya ruang bagi beroperasinya kegirangan, kesukaan hidup, dan tentunya kreativitas, seperti yang dikatakan ahli Fisika cum-biologiwan Erwin Schrodinger dalam bukunya, What is Life, demikian: "An organism must have a comparatively gross structure in order to enjoy the benefit of fairly accurate laws, both for its internal life and for its interplay with the external world".

Kepada Taufikurahman, saya ingin ingatkan bahwa kesempatan untuk mengambil bagian dalam arus perubahan yang dihasilkan oleh sains akan menjadi sulit dilalui apabila bangsa kita dengan sengaja menempatkan dengan sengaja rintangan-rintangan ke jalan yang akan kita lalui sebagai bangsa-termasuk memasung keilmiahan pelajaran Biologi di SMP atau SMA, apalagi di universitas. Jika panggung sejarah telah menyaksikan hegemoni Barat terhadap peradaban dunia, hal ini akibat dari satu faktor utama: sains!

Sumber: Kompas Cyber Media

Kadar Karbon Atmosfer Diatur Termostat Alami

Siklus karbon dioksida di Bumi diatur mekanisme alami sehingga kadarnya di atmosfer stabil pada kisaran tertentu. Namun, keseimbangan ini goyah sejak manusia memuntahkan gas rumah kaca begitu banyak ke udara.

Sebagaimana dilaporkan dalam Jurnal Nature Geoscience edisi terbaru, para peneliti telah menemukan bukti-bukti yang menguatkan teori untuk menjelaskan mekanisme siklus karbon dioksida di alam. Teori yang telah lama diyakini ini menggambarkan bahwa karbon yang disemburkan gunung-gunung api akan tersimpan ke darat dalam proses pelapukan batuan sebelum akhirnya tersimpan di dasar laut.

"Banyak orang yang mencoba menolak hipotesis ini, namun penelitian kami untuk pertama kalinya memberikan bukti-bukti yang mendukung hal tersebut," ujar Richard Zeebe, dari Universitas Hawaii, di Honolulu, AS. Bukti-bukti tersebut tergambar dari kadar CO2 pada lapisan es yang terjaga hingga kedalaman 3 kilometer di bawah kawasan Antartika yang disebut Dome Concordia atau Dome C.

Dari analisis terhadap lapisan-lapisan es hasil pengeboran Epica (European Project for Ice Coring in Antartika) itu, para peneliti menyimpulkan bahwa selama 610.000 tahun, kenaikan kadar karbon dioksida di atmosfer hanya sekitar 22 ppm (bagian permil) meski sempat naik tinggi saat peralihan dari fase glasial (zaman es) ke interglasial. Namun, selama dua abad sejak revolusi industri, kandungannya meningkat menjadi 100 ppm atau 14.000 kali lebih cepat.

"Sungguh mengejutkan begitu seimbangnya antara input karbon dari gunung dan output dari pelapukan batuan. Hal ini menunjukkan adanya sebuah termostat alami yang membantu kestablikan iklim," ujar Zeebe. Sebagai gambaran, dalam sebuah mobil, termostat berfungsi mengatur aliran air untuk menjaga suhu mesin tetap stabil.

Jika mekanisme tersebut tidak terjadi, Bumi mungkin tidak seperti ini. Sistem termostat karbon alami merupakan faktor utama yang mengatur pasokan air untuk mendukung kehidupan di Bumi. Saat ini kita telah membuat sistem tersebut di luar keseimbangan. Pantas kalau sering disebut-sebut bahwa Bumi sedang demam. Apakah ini juga tanda-tanda Bumi juga akan terserang batuk?

METAGENESIS PADA TUMBUHAN BIJI

Tumbuhan biji yang tampak oleh kita adalah generasi sporofit. Generasi gametofit betina berkembang di dalam bakal biji dan masih melekat dengan tumbuhan induknya. Perkembangan gametofit jantan dimulai saat terbentuknya mikrospora, kemudian dilanjutkan pada saat setelah penyerbukan. Perbedaannya dengan tumbuhan paku adalah generasi gametofit tumbuhan biji lebih kecil, perkembangannya lebih terlindung, dan ketergantungan hidup terhadap generasi sporofitnya (tumbuhan induknya) lebih tinggi.

Mikrospora berkembang menjadi serbuk sari setelah keluar dari dalam kotak spora. Pada saat penyerbukan, serbuk sari yang jatuh di kepala putik akan berkembang membentuk buluh serbuk sari. Di dalam buluh serbuk sari akan terbentuk sel sperma. Pada angiospermae (tumbuhan biji tertutup), yang disebut dengan generasi mikrogametofit adalah buluh serbuk sari. Sedangkan yang disebut generasi megagametofit (makrogametofit) adalah kantong lembaga (kantong embrio).

Setelah terjadi pembuahan ovum oleh sel sperma, maka terbentuklah zigot yang kemudian berkembang menjadi embrio (lembaga) di dalam biji. Saat biji berkecambah, embrio akan berkembang lebih lanjut menjadi kecambah, kemudian menjadi tumbuhan muda, dan akhirnya tumbuhan dewasa. Tumbuhan dewasa menghasilkan bunga, an seterusnya daur hidupnya dimulai kembali.